Belajar Nilai Persaudaraan Islam dari Al- Qur'an

Aku mulai lagi murajaah hafalanku, setelah sedemikian banyak aktifitas yang menguras otak dan tenagaku hingga sering kali aku terlupa dengan buku kesayanganku. Namun Alhamdulillah setelah eksisnya timworkku, pekerjaanku semakin ringan dan semakin banyak waktu untuk mengembalikan aktifitasku. Membaca Al-Quran yang masih sering aku lalai untuk selalu istiqamah membaca dan menghafalnya. Kemudian akupun baca sebuah surat yang menjadi salah satu favoritku Al-Hujurat, surat yang ringan dengan penuh makna. Sebuah surat yang akan menghiasi hati seorang mukmin dengan kelembutan, kasih sayang dan persahabatan.

Pada permulaan surat ini diawali dengan perintah tawadhu’, dengan tidak mendahului setiap tindakan yang tidak menghiraukan ketetapan-ketetapan Allah. Perintah untuk mendahulukan Allah dan Rasulnya diatas segalanya. Diatas kepentingan pribadi, kelompok, golongan, partai atau sekat-sekat apapun yang dapat melemahkan orientasi perjuangan, yang sudah selayaknya setiap perjuangan, kita dedikasikan hanya untuk Allah dan Rasulnya. Aku tersadar saat ini, agamaku telah terkoyak, karena begitu banyaknya orang yang mengatakan dirinya muslim tetapi dengan angkuhnya mencampur adukkan faham-faham lain sebagai keyakinanya. Bahkan terkadang mereka malu sebagai seorang muslim sehingga identitas-identitas keislaman dengan memelihara sunnah mereka tanggalkan. Ataupun terkadang justru muncul fobia terhadap islam, bahwasanya syariatnya ketinggalan jaman dan tidak bisa diterapkan hingga menganggapnya ilusi belaka.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ [٤٩:١]


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Hal ini dijadikan pengantar penanaman nilai-nilai persaudaraan islam karena hanya orang yang tunduk pada syariat islam sajalah orang-orang yang mau membangun dan memelihara persaudaraan islam, mereka adalah manusia-manusia yang mau hidup dalam naungan Al-Quran dan senantiasa konsisten menjaga sunnah-sunnah yang dicontohkan teladannya Rasulullah SAW. Mereka yang mau mendahulukan pemahaman islam sebelum membuat keputusan.

Pesan berikutnya yang bisa kita tangkap adalah berkaitan dengan adab untuk berbicara dan menyampaikan pendapat. Seorang mukmin adalah sosok yang mampu menjaga lisannya untuk senantiasa berbicara dengan santun dan lembut. Kesantunan adalah gambaran kualitas emosional dan intelektual seseorang. Hati mereka dipenuhi dengan kelapangan dan kebajikan untuk senantiasa rendah hati dan penyantun. Adakalanya memang kita menyampaikan pendapat ataupun kritik, yang demikian itu memang bagian hak dan kewajiban. Namun siapa yang mau mendengar dan memperhatikan jika justru kalimat yang keluar adalah cemohan, hujatan ataupun perkataan yang kasar. Tentunya perkataan yang lembut berupa nasihat dan doa lebih utama kita berikan kepada saudara kita.

إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَىٰ ۚ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ [٤٩:٣]


Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.

Hal itulah yang kemudian mengantarkan pada rambu-rambu ukhuwah pada ayat-ayat berikutnya. Diantaranya tidak mudah makan gosip, fitnah dan berhati-hati untuk menjatuhkan vonis dan memberikan persangkaan buruk kepada saudaranya seiman. Dengannya akan memberikan rasa saling percaya, saling memahami dan senantiasa untuk berprasangka baik. Hal inilah yang hendaknya dipelajari orang-orang beriman, hendaknya senantiasa menjaga suasana hati mereka dalam ketenangan, dengan tidak mudah terprovokasi oleh berita ataupun media, yang seringkali menfitnah dan menyudutkan dengan berbagai persepsi negatif akan islam. Dan tatkala terjadi perbedaan dan perselisihan, hendaknya ada diantara kita untuk mendamaikan bukan malah memperkeruh suasana. Dan berilah masukan dan keputusan dengan adil untuk menjaga persatuan dan kesatuan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ [٤٩:٦]


Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Sehingga dengannya akan terwujud ukhuwah islamiyah untuk saling menghargai dan memahami, antar seorang muslim dengan muslim lainnya, golongan muslim yang satu dengan yang lainnya. Karena terkadang dalam benak sebagian umat islam muncul adanya fanatisme kelompok ataupun golongan, dengan menganggap dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar, paling kuat, paling hebat sehingga berhak mengkerdilkan saudaranya yang lain. Bahkan terkadang dengan ringannya akan keluar kata kufur hingga melakukan takfir kepada orang ataupun kelompok yang berbeda pendapat ataupun cara pandang yang kurang esensial.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ [٤٩:١١]


Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Aku teringat ketika membaca sebuah sejarah seorang khalifah yang mulia Umar bin Abdul Azis. Suatu ketika umar memberikan perintah kepada salah seorang panglima yang juga gubernurnya Jaunah bin Harist yang berkuasa di Malta untuk melakukan penaklukan, dalam rangka memperluas kekuasaan dan pengaruh islam. Untuk menyebarkan agama islam yang membawa perdamaian. Dengan kekuatan besar Jaunah meraih kemenangan dalam peperangan dengan mudah, sehingga berhasil menaklukkan negeri lawan dan mendapatkan banyak ghanimah. Sekembalinya dari tugas, sang khalifah memanggil Jaunah untuk menghadap dan menanyakan perihal peperangannya. Kemudian khalifah bertanya kepada Jaunah “Apakah ada korban dari kaum muslimin…?”, maka dengan singkat Jaunah menjawab: “Tidak ada, kecuali hanya seorang lelaki biasa”. Mendengar jawaban sang gubernur seketika wajah khalifah memerah dan mengatakan “ Apa katamu, hanya seorang lelaki biasa…!“ yang dengan nada tinggi dan kembali diulang-ulangnya. Kemudian sang khalifah mengakhiri pembicaraannya dengan sang gubernur seraya mengatakan “Kamu tidak akan aku jadikan pejabat lagi, bahkan semua keluargamu selama aku masih hidup”.

Dari sirah tersebut kita bisa mengambil hikmah, bagaimana seorang khalifah terbaik Umayyah yang juga didaulat sebagai Khulafaur Rasyidin yang kelima, memberikan perhatian dan penghargaan kepada setiap muslim. Seorang muslim adalah manusia yang begitu mulia, yang tidak berhak walaupun dia seorang penguasa untuk meremehkan kedudukan manusia lainnya, bahkan menganggapnya rendah dan kurang berarti. Karena seorang muslim adalah manusia terbaik yang telah diberikan hidayah oleh Allah SWT, dengan kemuliaan dariNya sebagai sebaik-baik umat. Dia telah dipilih Allah untuk mendapatkan jalan keselamatan yang mengeluarkannya dari lumpur gelap jahiliyah kepada cemerlangnya cahaya islam. Yang dengannya akan mendapatkan tempat yang mulia jannah disisi Tuhannya, yang jauh lebih mulia dibandingkan segala kedudukan dan jabatan dunia. Sehingga yang paling mulia disisiNya adalah yang paling bertaqwa kepadaNya, terlepas dari keturunan, suku bangsa atau apapun golongannya.

Dan pada bagian penutup pesan dari surat Al-Hujurat ini adalah pembuktian eksistensi keimanan pada diri seorang muslim. Kualitas keimanan bukanlah didasarkan klaim semata tetapi pembuktian. Seberapa besar pembuktian keimanannya yang diwujudkan dengan amal nyata dalam kehidupan. Buanglah kebiasaan NATO, Not Action Talk Only. Kebiasaan yang tidak membuktikan apapun, yang hanya akan mengarahkan pada rendahnya produktifitas, hilangnya potensi putera-puteri terbaik islam, hingga terlalu banyaknya waktu, tenaga dan pikiran hanya untuk mencari-cari kesalahan ataupun melakukan kritik dan hujatan, tanpa merasa perlu untuk melakukan pembuktian diri menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, dan berjuang dengan segala upaya baik harta maupun jiwa.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ [٤٩:١٥]


Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.

Demikianlah diantara hikmah besar surat Al-Hujurat untuk membentuk karakter seorang muslim yang mukmin. Yang kehadirannya tentunya akan senantiasa memberikan kebaikan, salam kehangatan dan senantiasa menghargai nikmatnya persaudaraan islam.

0 komentar: